Kamis, 23 Desember 2010

Trip to Tenggarong (Bagian 2 Habis)

hmm... nyamannya suasana rumah kayu dan semilir angin dari kipas angin membuat kami semua tidur dengan lelap. Saat ku membuka mata, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 06.40 WITA, Sabtu (30/10). Bergegas aku bangun dan segera beranjak dari kasur untuk menuju pintu kamar untuk keluar, setelah melakukan sedikit Push up dan Sit up, sedangkan Deny masih asyik terlelap di atas kasur dengan posisi khasnya.

Sambil sedikit "kriyip-kriyip" karena mataku masih lumayan mengantuk, aku membuka pintu kamar. Namun, betapa kagetnya aku karena di depan pintu kamarku sudah ada Madhes dengan baju hitam yang digunakannya untuk tidur semalam, tapi rambutnya sudah basah, begitupun baju yang dikenakannya, dan mulutnya terlihat sedikit pucat karena kedinginan.

"kok basah, kenapa?" tanyaku sambil mengucek-ucek mataku.
"abis jalan-jalan tadi sama papah, liatin jalan yang lagi dibangun," ujarnya sambil melepaskan asap rokok dari mulutnya.
"owh... memangnya hujan yah?" tanyaku lagi..
"iyah, liat aja keluar," ujarnya sambil ngeloyor ke belakang ...
 Hmmm.... benar saja, kulihat ke luar dan ternyata hujan cukup lumayan membuat suasana semakin enak untuk kembali tidur. Tapi, aku merasa tidak enak kalau kembali ke tempat tidur, jadi aku memutuskan untuk mandi biar badanku segar... brrrr....

Usai mandi, aku pun menuju ke ruang tengah dan mulai menyalakan laptop dan online....online...  tak lama kemudian, terdengar suara Ibu (Mamahnya Madhes) "Sarapan dulu tis," ujarnya sembari tersenyum dan duduk di kursi dekat tempat aku asyik bermain laptop. "Iya bu, sebentar lagi, bareng Madhes sama Deny saja," kataku. "Owh, ya sudah, tapi kalau mau makan, semua sudah tersedia di meja ya," tuturnya.

Tak lama setelah perbincangan kami, Deny pun akhirnya keluar kamar dan langsung duduk di dekatku. Mungkin dia sudah merasa cukup dengan tidurnya atau mungkin karena suara kami (Ibu dan Aku) saat berbincang sambil sesekali bercanda dan ketawa. Singkat cerita, akhirnya kami sarapan dan kami pun menuju rumah belakang yang ternyata merupakan rumah saudara dari Papanya Madhes. Menariknya, di belakang rumah itu terdapat empang dan kami pun memancing di empang itu. 

Panen Ubi
Diiringi hujan yang terus turun, kami bercengkrama dan bercerita tentang berbagai hal. Akhirnya, beranjak siang hujan pun reda, kami kemudian memutuskan untuk mengambil ubi di kebun yang jaraknya lumayan dekat dari rumah. Berbekal parang dan keranjang yang bentuknya menurutku cukup unik, kami berangkat ke kebun ubi. Sesampainya di kebun, coba terka apa yang kami lakukan ???..... yup benar, kami berfoto-foto dulu. Deny yang pertama minta di foto dengan menggunakan topi khas dayak dan keranjang yang digendong di belakang, sementara Madhes dan Papanya langsung masuk ke dalam kebun dan mulai mencabuti singkong di kebun itu.
Ikut Nampang Juga
  
Deny amapang dengan topi dan keranjang khas Dayak









Setelah puas foto-foto di luar kebun, kami berdua pun masuk ke dalam kebun. Deny mulai membantu untuk membersihkan ketela yang sudah berhasil di cabut, sementara aku tetap berkutat dengan kameraku dan memotret aktifitas mereka di kebun (tim dokumentasi ceritanya). Kami bun bercanda layaknya anak kecil yang belum pernah main di kebun. Intinya, meskipun sambil mencabut singkong dan membersihkannya, kegiatan nampang alias narsis tetap berjalan seiringan, hasilnya, ya pasti foto-foto ndak cetho.

Madhes Macak Galak
Deny dan ubi   
Madhes & Deny




Singkat cerita, usai memanen singkong di kebun, akhirnya kami pun kembali ke rumah dengan membawa sekeranjang penuh singkong alias ubi kayu yang berhasil kami dapatkan dari kebun untuk diserahkan kepada ibu sebagai bahan kudapan alias camilan di siang hari. hmm.... benar saja, setelah selesai di bersihkan dan dimasak (direbus dan digoreng)... rasanya yummy.... enyak...enyak..enyak.... :D

Memancing dan Berenang

Madhes and Deny in Action
Tak terasa, hari pun beranjak sore, kami pun memutuskan untuk memancing di areal bekas tambang batu bara yang saat ini telah menjadi semacam danau. Tak dikira dan dinyana, jalan menuju ke lokasi tersebut tidak mudah dilalui. Bukan karena harus masuk hutan, tetapi karena jalannya yang sudah sangat rusak. Aspal-aspal yang dulu melekat halus, saat kami lalui sudah banyak yang berlubang dan dipenuhi oleh air berwarna kecoklatan akibat sisa air hujan yang belum mengering. Meskipun cukup sulit untuk dilalui, tapi karena kami cukup antusias, jadi semua tidak begitu kami rasakan, dan tetap kami berfoto-foto ria.

Kami sempat berputar-putar untuk memilih danau (bekas galian batubara) mana yang akan kami jadikan tempat memancing, sekaligus tempat untuk berenang. Setelah beberapa saat kami mencari lokasi yang tepat, akhirnya kami mulai menurunkan perbekalan untuk memancing. Kail, umpan dan tak lupa tas berisi kamera untuk dokumentasi pun kami letakkan di tempat yang aman, dan kami pun mulai memancing.

Sok serius mancing
Hampir satu jam kami memancing, dan hasilnya hanya beberapa ekor ikan saja yang bisa kami dapatkan, itu pun ikan-ikan yang sangat kecil dan "tak layak" untuk di konsumsi sebagai lauk untuk makan, karena besarnya cuma se jempol-jempol saja. hmfff... karena sudah suntuk dan tak kunjung lagi dapat ikan, akhirnya, coba tebak apa yang kami lakukan, .... yup, kita foto-maning... (mancingnya ndak seberapa, tapi narsisnya nda ketulungan).....
Sok action juga

Madhes siap berenang
Satu, dua dan tiga frame aku memotret aktivitas mereka yang sok-sokan serius memancing, dan gantian aku pun di foto, ya maklum lah untuk kenang-kenangan dan bisa jadi bahan buat cerita ke anak dan cucu... hehehehe.

 Setelah cukup jenuh karena hasil  akhirnya kami memutuskan untuk berenang di dekat beberapa kotak empang yang terbuat dari bambu dan belum di beri semacam jaring untuk memelihara ikan.aku malas berenang karena aku lihat airnya juga tidak terlalu jernih alias berwarna agak kehijau-hijauan. alhasil, aku disuruh Deny dan Madhes untuk mendokumentasikan tingkah polah mereka saat berenang di empang itu, dan hasilnya.....

Melihat mereka asyik berenang dan keliatannya wajah-wajah mereka tidak menampakkan rasa gatal atau jijik, akhirnya aku pun memutuskan untuk ikut mereka berenang di empang begas galian batubara itu.

Brrr.... begitu segar dan terbersit perasaan senang karena jelas ini merupakan pengalaman yang sangat langka dan tidak mungkin bisa di dapatkan di kota asalku, Jogjakarta.

Layaknya anak kecil, kami pun bercanda dan akhirnya Madhes pun nyeletuk "ayo sudah, kita lomba berenang, ini arena dan batasannya,: ujarnya. Tanpa pikir panjang, kami pun langsung ambil posisi dan segera berlomba. hmmm... rasanya sangat menyenangkan, dan aku pun lupa bahwa kami berenang di empang dengan air yang berwarna agak kehikau-hijauan dan melupakan kengerian-kengerian soal ular yang mungkin menggigit kami di air saat kami berenang, atau mungkin malah buaya.

Usai puas berenang, kami pun beranjak untuk pulang, dan ternyata hari sudah menjelang senja. Sesampainya di rumah, aku langsung bergegas ke kamar untuk mengambil baju ganti dan bergegas mandi. Beuhh... gatal-gatal semua rasanya badanku waktu itu....

Usai mandi, aku pun ke luar rumah untuk menikmati senja di tepian mahakam yang jaraknya hanya sekitar beberapa meter saja dari halaman rumah Madhes. hmm... rasanya begitu damai dan indah. Semburat warna-warni keemasan bercampur  gumpalan-gumpalan awan yang begitu indah membuatku enggan untuk beranjak dari tempatku duduk di tepian mahakam itu. Tapi, suara adzan magrib memaksaku kembali masuk ke dalam rumah untuk kemudian mengambil air wudlu dan sholat magrib.

hmmm,,,, sungguh menyenangkan bisa tinggal di Tenggarong, begitu yang tersirat dalam benakku saat berjalan menuju rumah Madhes.

Pulang Ke Balikpapan
Sore pun beranjak malam dan tak terasa kami pun telah dua hari berada di Tenggarong. Rasanya tak ingin raga ini melewatkan malam di tepian mahakam, dan akhirnya aku pun kembali keluar dan duduk di tepian mahakam untuk sekadar menikmati hembusan angin malam terakhirku di kota Tenggarong. Sebenarnya, ingin ku berlama-lama duduk di tepian mahakam, tapi nyamun dan dinginggya udara malam memaksaku untuk kembali masuk ke dalam rumah memaksaku untuk masuk ke dalam kamar untuk kemudian menuju peraduan untuk merebahkan badan dan sejenak meninggalkan bumi.

Waktu memang begitu cepat berlalu, tak terasa sang mentari sudah terik menyinari bumi dan aku pun terbangun. hmmmfff.... hari ini terakhir aku di Tenggarong, pikirku singkat. Tak berapa lama setelah terjaga, aku langsung mengambil peralatan mandiku dan celana dalam serta celana panjang dan langsung menuju kamar mandi, sementara deni masih juga terlelap tidur dengan pulasnya.

Tak berapa lama setelah aku mandi, Deni pun bangun, tapi bukannay langsung mandi, Deni dan Madhes langsung menuju rumah belakang untuk mengambil alat pancing dan memancing di empang yang ada di belakang rumah. Ingin sebenarnya aku ikut memancing, tapi rasa malas membuatku hanya duduk manis di depan laptop sambil online di temani Ibunya Madhes dan Bapaknya Madhes sambil bercanda-canda.

Tak terasa, waktu sudah beranjak siang, dan tiba saatnya kami bertiga (Aku, Madhes dan Deni) untuk kembali ke Balikpapan. hmmmfff... berat rasanya meninggalkan kenyamanan yang selama beberapa hari ini ku rasakan, tapi ya mau bagaimana lagi... akhirnya kami pun pamit dan mulai menjauh meninggalkan rumah orang tua Madhes yang begitu nyaman dan sederhana itu untuk kemudian kembali menyeberangi mahakam menggunakan kapal yang kami naiki malam itu.

Mobil dinaikkan ke atas very 
Meskipun sudah dua kali menaikinya, rasa kagum dan heranku serta sedikit rasa takutku masih saja ada saat menaiki kapal itu. Seperti biasa, untuk menghilangkan rasa takutku, aku pun langsung mengeluarkan kamera dan kembali mengambil gambar. Seperti biasa, tak ingin momentum ini terlewat, kami bertiga pun memutuskan untuk kembali menjadi orang narsis dan bergantian saling memotret. Pertama-tama, aku dan Deny yang di foto oleh madhes, selanjutnya giliran Madhes yang minta di foto.... hmmmm.... tukang foto juga manusia, perlu narsis juga sekali-sekali ...:p dan hasilnya lumayan juga, lumayan buat dokumentasi dan kenang-kenangan.

Deni (kiri) and Me (kanan)
Me (kanan) and Deni (kiri)

Madhes nampang                                        sesaat sebelum diturunkan dari very
Seperti ku bilang, meskipun menyibukkan diri dengan berfoto-foto dan narsis-narsisan, rasa khawatir kapal yang kami naiki terbalik masih saja terbersit dalam benakku. Berbeda dengan saat kami menyeberang saat malam, penyeberangan kali ini terasa lebih singkat, tapi tetap saja menegangkan...:D sekitar lima belasan menit kita menyeberang dari Loa Raya menuju ke Tenggarong kota. Begitu sampai di seberang, aku langsung turun dari kapal dan kembali mengambil gambar saat mobil hendak di turunkan dari kapal. setelah berhasil di turunkan dari kapal dengan selamat, kami pun melanjutkan perjalanan untuk kembali ke Balikpapan. Namun sebelum kembali ke Balikpapan, kami memutuskan untuk mampir sejenak ke Museum Mulawarman untuk sekadar melihat-lihat koleksi museum yang ternyata dulunya merupakan kerajaan Kutai.

Mengunjungi Museum
Tiket masuk Museum Mulawarman
Sekitar 45 menit sampai 1 jam kami berputar-putar untuk menikmati isi dalam museum tersebut dan mengambil beberapa gambar sebagai kenang-kenangan. Sebenarnya, kalau dibilang menarik, menurutku Museum Mulawarman ya biasa aja, tapi karena ini merupakan pertama kali aku datang, jadi semua koleksi yang ada di dalam museum itu cukup menarik untuk dilihat dan dinikmati.

Sebelum masuk musem, pertama-tapi kami membeli karcis, dan betapa terkejutnya aku saat membayar, ku kira harganya mahal, eh ternyata harganya cukup terjangkau, hanya Rp 2.500 saja per orang dan kamera yang dibawa dikenai biaya Rp 3.000 saja. Begitu kami membeli tiket, kami langsung bergegas masuk dan aku pun mulai asyik bermain dengan kameraku dan memotret berbagai barang-barang antik yang ada di dalam museum.

Singgasana Raja Mulawarman
Saat pertama kali masuk, mataku langsung tertuju pada sebuah singgasana yang ternyata merupakan singgasana raja Kutai Kartanegara waktu itu. Perpaduan warna emas dan kuning yang begitu mencolok pada singgasana yang dipayungi kain putih dan biru di atasnya membuat singgasana tersebut nampak begitu agung. Selain itu, dua buah lukisan di kanan dan kiri singgasana, serta sejumlah ornamen seperti payung dan hiasan kepala naga membuat kita tak bisa begitu saja melewatkannya tanpa mengabadikannya.


Gerabah dari keramik
Diorama soal pembuatan gula aren
Usai memotret singgasana Raja Mulawarman yang merupakan Raja Kutai Kartanegara pertama, selanjutnya kami melanjutkan "tour museum" kami. Sebenarnya, sungguh menarik, tapi sangat disayangkan, menurutku perawatan yang dilakukan pengelola museum masih kurang maksimal. Bagaimana tidak, saat kami masuk ke bagian museum yang berada di lantai bawah yang berisi berbagai koleksi gerabah dan keramik kuno, karena ventilasi dan sirkulasi udara yang kurang baik, membuat kami merasa sesak dan kesulitan bernafas. Selain itu, debu yang sudah menahun, juga membuatku beberapa kali bersin serta berulang kali menahan nafas karena ada bau yang kurang enak. Meskipun begitu, aku tak mau melewatkan momentum ini, jadi kameraku pun ku "pekerjakan" untuk merekam beberapa gambar yang menurutku menarik.

Diorama turunya raja kutai dari langit
Topeng untuk upacara erau
Pistol kuno dan Sumpit (sejatatra khas Dayak)
Setelah cukup puas menikmati koleksi museum yang terdapat di lantai paling bawah alias di basement, akhirnya kami kembali ke atas dan melanjutkan "tour de Museum Mulawarman". Satu per satu semua ruangan kami masuki, mulai dari ruangan yang terdapat koleksi senjata-senjata kuno, ruangan yang terdapat koleksi mata uang kuno, diorama soal Kalimantan dulu dan Sekarang, etalase topeng-topeng, hingga ada etalase yang menceritakan mengenai legenda turunya Raja Kutai pertama kali yang dipercaya turun dari langit.

Jujur saja, jika di bandingkan dengan koleksi-koleksi museum di Jawa, mungkin Museum Mulawarman tidak cukup banyak memiliki koleksi. Selain itu, kondisi museum juga kurang begitu terawat karena masih debu dan bau yang kurang sedap kerap membuat aku bersin dan mengganggu pernapasan. Yang paling membuat tidak nyaman, suasana panas karena tidak semua ruangan memiliki kipas angin atau AC membuat Museum Mulawarman menjadi tidak terlalu nyaman untuk "dinikmati", apalagi saat jumlah pengunjung cukup banyak. Alhasil, keringat mengucur begitu deras meskipun ruangan yang ada untuk di kunjungi tidak terlalu banyak.

Hmmm.... tak terasa sudah hampir satu jam aku, Madhes dan Deni berkeliling Museum Mulawarman, akhirnya, kami memutuskan untuk kembali ke Balikpapan setelah beberapa hari menikmati kehidupan yang cukup tenang dan jauh dari kebisingan kota. Tenggarong, mungkin memang aku belum bisa menjelajahimu secara total, tapi bagiku kau kota yang cukup menarik untuk kembali ku singgahi lagi...: D

Terimakasih untuk Ibunya Madhes yang begitu ramah dan baik dengan masakan-masakannya yang lezat dan memanjakan lidah selama kami menghabiskan beberapa hari di Tenggarong. Terimakasih juga buat Ayahnya Madhes yang  terkadang usil tapi begitu perhatian dan tak segan-segan memberikan nasihat demi kebaikan kami dan usaha kami bersama di Balikpapan. Gona Miss u, your beautiful home and mahakam saat Sunset ....:D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar