Kamis, 23 Desember 2010

Trip to Tenggarong (Bagian 2 Habis)

hmm... nyamannya suasana rumah kayu dan semilir angin dari kipas angin membuat kami semua tidur dengan lelap. Saat ku membuka mata, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 06.40 WITA, Sabtu (30/10). Bergegas aku bangun dan segera beranjak dari kasur untuk menuju pintu kamar untuk keluar, setelah melakukan sedikit Push up dan Sit up, sedangkan Deny masih asyik terlelap di atas kasur dengan posisi khasnya.

Sambil sedikit "kriyip-kriyip" karena mataku masih lumayan mengantuk, aku membuka pintu kamar. Namun, betapa kagetnya aku karena di depan pintu kamarku sudah ada Madhes dengan baju hitam yang digunakannya untuk tidur semalam, tapi rambutnya sudah basah, begitupun baju yang dikenakannya, dan mulutnya terlihat sedikit pucat karena kedinginan.

"kok basah, kenapa?" tanyaku sambil mengucek-ucek mataku.
"abis jalan-jalan tadi sama papah, liatin jalan yang lagi dibangun," ujarnya sambil melepaskan asap rokok dari mulutnya.
"owh... memangnya hujan yah?" tanyaku lagi..
"iyah, liat aja keluar," ujarnya sambil ngeloyor ke belakang ...
 Hmmm.... benar saja, kulihat ke luar dan ternyata hujan cukup lumayan membuat suasana semakin enak untuk kembali tidur. Tapi, aku merasa tidak enak kalau kembali ke tempat tidur, jadi aku memutuskan untuk mandi biar badanku segar... brrrr....

Usai mandi, aku pun menuju ke ruang tengah dan mulai menyalakan laptop dan online....online...  tak lama kemudian, terdengar suara Ibu (Mamahnya Madhes) "Sarapan dulu tis," ujarnya sembari tersenyum dan duduk di kursi dekat tempat aku asyik bermain laptop. "Iya bu, sebentar lagi, bareng Madhes sama Deny saja," kataku. "Owh, ya sudah, tapi kalau mau makan, semua sudah tersedia di meja ya," tuturnya.

Tak lama setelah perbincangan kami, Deny pun akhirnya keluar kamar dan langsung duduk di dekatku. Mungkin dia sudah merasa cukup dengan tidurnya atau mungkin karena suara kami (Ibu dan Aku) saat berbincang sambil sesekali bercanda dan ketawa. Singkat cerita, akhirnya kami sarapan dan kami pun menuju rumah belakang yang ternyata merupakan rumah saudara dari Papanya Madhes. Menariknya, di belakang rumah itu terdapat empang dan kami pun memancing di empang itu. 

Panen Ubi
Diiringi hujan yang terus turun, kami bercengkrama dan bercerita tentang berbagai hal. Akhirnya, beranjak siang hujan pun reda, kami kemudian memutuskan untuk mengambil ubi di kebun yang jaraknya lumayan dekat dari rumah. Berbekal parang dan keranjang yang bentuknya menurutku cukup unik, kami berangkat ke kebun ubi. Sesampainya di kebun, coba terka apa yang kami lakukan ???..... yup benar, kami berfoto-foto dulu. Deny yang pertama minta di foto dengan menggunakan topi khas dayak dan keranjang yang digendong di belakang, sementara Madhes dan Papanya langsung masuk ke dalam kebun dan mulai mencabuti singkong di kebun itu.
Ikut Nampang Juga
  
Deny amapang dengan topi dan keranjang khas Dayak









Setelah puas foto-foto di luar kebun, kami berdua pun masuk ke dalam kebun. Deny mulai membantu untuk membersihkan ketela yang sudah berhasil di cabut, sementara aku tetap berkutat dengan kameraku dan memotret aktifitas mereka di kebun (tim dokumentasi ceritanya). Kami bun bercanda layaknya anak kecil yang belum pernah main di kebun. Intinya, meskipun sambil mencabut singkong dan membersihkannya, kegiatan nampang alias narsis tetap berjalan seiringan, hasilnya, ya pasti foto-foto ndak cetho.

Madhes Macak Galak
Deny dan ubi   
Madhes & Deny




Singkat cerita, usai memanen singkong di kebun, akhirnya kami pun kembali ke rumah dengan membawa sekeranjang penuh singkong alias ubi kayu yang berhasil kami dapatkan dari kebun untuk diserahkan kepada ibu sebagai bahan kudapan alias camilan di siang hari. hmm.... benar saja, setelah selesai di bersihkan dan dimasak (direbus dan digoreng)... rasanya yummy.... enyak...enyak..enyak.... :D

Memancing dan Berenang

Madhes and Deny in Action
Tak terasa, hari pun beranjak sore, kami pun memutuskan untuk memancing di areal bekas tambang batu bara yang saat ini telah menjadi semacam danau. Tak dikira dan dinyana, jalan menuju ke lokasi tersebut tidak mudah dilalui. Bukan karena harus masuk hutan, tetapi karena jalannya yang sudah sangat rusak. Aspal-aspal yang dulu melekat halus, saat kami lalui sudah banyak yang berlubang dan dipenuhi oleh air berwarna kecoklatan akibat sisa air hujan yang belum mengering. Meskipun cukup sulit untuk dilalui, tapi karena kami cukup antusias, jadi semua tidak begitu kami rasakan, dan tetap kami berfoto-foto ria.

Kami sempat berputar-putar untuk memilih danau (bekas galian batubara) mana yang akan kami jadikan tempat memancing, sekaligus tempat untuk berenang. Setelah beberapa saat kami mencari lokasi yang tepat, akhirnya kami mulai menurunkan perbekalan untuk memancing. Kail, umpan dan tak lupa tas berisi kamera untuk dokumentasi pun kami letakkan di tempat yang aman, dan kami pun mulai memancing.

Sok serius mancing
Hampir satu jam kami memancing, dan hasilnya hanya beberapa ekor ikan saja yang bisa kami dapatkan, itu pun ikan-ikan yang sangat kecil dan "tak layak" untuk di konsumsi sebagai lauk untuk makan, karena besarnya cuma se jempol-jempol saja. hmfff... karena sudah suntuk dan tak kunjung lagi dapat ikan, akhirnya, coba tebak apa yang kami lakukan, .... yup, kita foto-maning... (mancingnya ndak seberapa, tapi narsisnya nda ketulungan).....
Sok action juga

Madhes siap berenang
Satu, dua dan tiga frame aku memotret aktivitas mereka yang sok-sokan serius memancing, dan gantian aku pun di foto, ya maklum lah untuk kenang-kenangan dan bisa jadi bahan buat cerita ke anak dan cucu... hehehehe.

 Setelah cukup jenuh karena hasil  akhirnya kami memutuskan untuk berenang di dekat beberapa kotak empang yang terbuat dari bambu dan belum di beri semacam jaring untuk memelihara ikan.aku malas berenang karena aku lihat airnya juga tidak terlalu jernih alias berwarna agak kehijau-hijauan. alhasil, aku disuruh Deny dan Madhes untuk mendokumentasikan tingkah polah mereka saat berenang di empang itu, dan hasilnya.....

Melihat mereka asyik berenang dan keliatannya wajah-wajah mereka tidak menampakkan rasa gatal atau jijik, akhirnya aku pun memutuskan untuk ikut mereka berenang di empang begas galian batubara itu.

Brrr.... begitu segar dan terbersit perasaan senang karena jelas ini merupakan pengalaman yang sangat langka dan tidak mungkin bisa di dapatkan di kota asalku, Jogjakarta.

Layaknya anak kecil, kami pun bercanda dan akhirnya Madhes pun nyeletuk "ayo sudah, kita lomba berenang, ini arena dan batasannya,: ujarnya. Tanpa pikir panjang, kami pun langsung ambil posisi dan segera berlomba. hmmm... rasanya sangat menyenangkan, dan aku pun lupa bahwa kami berenang di empang dengan air yang berwarna agak kehikau-hijauan dan melupakan kengerian-kengerian soal ular yang mungkin menggigit kami di air saat kami berenang, atau mungkin malah buaya.

Usai puas berenang, kami pun beranjak untuk pulang, dan ternyata hari sudah menjelang senja. Sesampainya di rumah, aku langsung bergegas ke kamar untuk mengambil baju ganti dan bergegas mandi. Beuhh... gatal-gatal semua rasanya badanku waktu itu....

Usai mandi, aku pun ke luar rumah untuk menikmati senja di tepian mahakam yang jaraknya hanya sekitar beberapa meter saja dari halaman rumah Madhes. hmm... rasanya begitu damai dan indah. Semburat warna-warni keemasan bercampur  gumpalan-gumpalan awan yang begitu indah membuatku enggan untuk beranjak dari tempatku duduk di tepian mahakam itu. Tapi, suara adzan magrib memaksaku kembali masuk ke dalam rumah untuk kemudian mengambil air wudlu dan sholat magrib.

hmmm,,,, sungguh menyenangkan bisa tinggal di Tenggarong, begitu yang tersirat dalam benakku saat berjalan menuju rumah Madhes.

Pulang Ke Balikpapan
Sore pun beranjak malam dan tak terasa kami pun telah dua hari berada di Tenggarong. Rasanya tak ingin raga ini melewatkan malam di tepian mahakam, dan akhirnya aku pun kembali keluar dan duduk di tepian mahakam untuk sekadar menikmati hembusan angin malam terakhirku di kota Tenggarong. Sebenarnya, ingin ku berlama-lama duduk di tepian mahakam, tapi nyamun dan dinginggya udara malam memaksaku untuk kembali masuk ke dalam rumah memaksaku untuk masuk ke dalam kamar untuk kemudian menuju peraduan untuk merebahkan badan dan sejenak meninggalkan bumi.

Waktu memang begitu cepat berlalu, tak terasa sang mentari sudah terik menyinari bumi dan aku pun terbangun. hmmmfff.... hari ini terakhir aku di Tenggarong, pikirku singkat. Tak berapa lama setelah terjaga, aku langsung mengambil peralatan mandiku dan celana dalam serta celana panjang dan langsung menuju kamar mandi, sementara deni masih juga terlelap tidur dengan pulasnya.

Tak berapa lama setelah aku mandi, Deni pun bangun, tapi bukannay langsung mandi, Deni dan Madhes langsung menuju rumah belakang untuk mengambil alat pancing dan memancing di empang yang ada di belakang rumah. Ingin sebenarnya aku ikut memancing, tapi rasa malas membuatku hanya duduk manis di depan laptop sambil online di temani Ibunya Madhes dan Bapaknya Madhes sambil bercanda-canda.

Tak terasa, waktu sudah beranjak siang, dan tiba saatnya kami bertiga (Aku, Madhes dan Deni) untuk kembali ke Balikpapan. hmmmfff... berat rasanya meninggalkan kenyamanan yang selama beberapa hari ini ku rasakan, tapi ya mau bagaimana lagi... akhirnya kami pun pamit dan mulai menjauh meninggalkan rumah orang tua Madhes yang begitu nyaman dan sederhana itu untuk kemudian kembali menyeberangi mahakam menggunakan kapal yang kami naiki malam itu.

Mobil dinaikkan ke atas very 
Meskipun sudah dua kali menaikinya, rasa kagum dan heranku serta sedikit rasa takutku masih saja ada saat menaiki kapal itu. Seperti biasa, untuk menghilangkan rasa takutku, aku pun langsung mengeluarkan kamera dan kembali mengambil gambar. Seperti biasa, tak ingin momentum ini terlewat, kami bertiga pun memutuskan untuk kembali menjadi orang narsis dan bergantian saling memotret. Pertama-tama, aku dan Deny yang di foto oleh madhes, selanjutnya giliran Madhes yang minta di foto.... hmmmm.... tukang foto juga manusia, perlu narsis juga sekali-sekali ...:p dan hasilnya lumayan juga, lumayan buat dokumentasi dan kenang-kenangan.

Deni (kiri) and Me (kanan)
Me (kanan) and Deni (kiri)

Madhes nampang                                        sesaat sebelum diturunkan dari very
Seperti ku bilang, meskipun menyibukkan diri dengan berfoto-foto dan narsis-narsisan, rasa khawatir kapal yang kami naiki terbalik masih saja terbersit dalam benakku. Berbeda dengan saat kami menyeberang saat malam, penyeberangan kali ini terasa lebih singkat, tapi tetap saja menegangkan...:D sekitar lima belasan menit kita menyeberang dari Loa Raya menuju ke Tenggarong kota. Begitu sampai di seberang, aku langsung turun dari kapal dan kembali mengambil gambar saat mobil hendak di turunkan dari kapal. setelah berhasil di turunkan dari kapal dengan selamat, kami pun melanjutkan perjalanan untuk kembali ke Balikpapan. Namun sebelum kembali ke Balikpapan, kami memutuskan untuk mampir sejenak ke Museum Mulawarman untuk sekadar melihat-lihat koleksi museum yang ternyata dulunya merupakan kerajaan Kutai.

Mengunjungi Museum
Tiket masuk Museum Mulawarman
Sekitar 45 menit sampai 1 jam kami berputar-putar untuk menikmati isi dalam museum tersebut dan mengambil beberapa gambar sebagai kenang-kenangan. Sebenarnya, kalau dibilang menarik, menurutku Museum Mulawarman ya biasa aja, tapi karena ini merupakan pertama kali aku datang, jadi semua koleksi yang ada di dalam museum itu cukup menarik untuk dilihat dan dinikmati.

Sebelum masuk musem, pertama-tapi kami membeli karcis, dan betapa terkejutnya aku saat membayar, ku kira harganya mahal, eh ternyata harganya cukup terjangkau, hanya Rp 2.500 saja per orang dan kamera yang dibawa dikenai biaya Rp 3.000 saja. Begitu kami membeli tiket, kami langsung bergegas masuk dan aku pun mulai asyik bermain dengan kameraku dan memotret berbagai barang-barang antik yang ada di dalam museum.

Singgasana Raja Mulawarman
Saat pertama kali masuk, mataku langsung tertuju pada sebuah singgasana yang ternyata merupakan singgasana raja Kutai Kartanegara waktu itu. Perpaduan warna emas dan kuning yang begitu mencolok pada singgasana yang dipayungi kain putih dan biru di atasnya membuat singgasana tersebut nampak begitu agung. Selain itu, dua buah lukisan di kanan dan kiri singgasana, serta sejumlah ornamen seperti payung dan hiasan kepala naga membuat kita tak bisa begitu saja melewatkannya tanpa mengabadikannya.


Gerabah dari keramik
Diorama soal pembuatan gula aren
Usai memotret singgasana Raja Mulawarman yang merupakan Raja Kutai Kartanegara pertama, selanjutnya kami melanjutkan "tour museum" kami. Sebenarnya, sungguh menarik, tapi sangat disayangkan, menurutku perawatan yang dilakukan pengelola museum masih kurang maksimal. Bagaimana tidak, saat kami masuk ke bagian museum yang berada di lantai bawah yang berisi berbagai koleksi gerabah dan keramik kuno, karena ventilasi dan sirkulasi udara yang kurang baik, membuat kami merasa sesak dan kesulitan bernafas. Selain itu, debu yang sudah menahun, juga membuatku beberapa kali bersin serta berulang kali menahan nafas karena ada bau yang kurang enak. Meskipun begitu, aku tak mau melewatkan momentum ini, jadi kameraku pun ku "pekerjakan" untuk merekam beberapa gambar yang menurutku menarik.

Diorama turunya raja kutai dari langit
Topeng untuk upacara erau
Pistol kuno dan Sumpit (sejatatra khas Dayak)
Setelah cukup puas menikmati koleksi museum yang terdapat di lantai paling bawah alias di basement, akhirnya kami kembali ke atas dan melanjutkan "tour de Museum Mulawarman". Satu per satu semua ruangan kami masuki, mulai dari ruangan yang terdapat koleksi senjata-senjata kuno, ruangan yang terdapat koleksi mata uang kuno, diorama soal Kalimantan dulu dan Sekarang, etalase topeng-topeng, hingga ada etalase yang menceritakan mengenai legenda turunya Raja Kutai pertama kali yang dipercaya turun dari langit.

Jujur saja, jika di bandingkan dengan koleksi-koleksi museum di Jawa, mungkin Museum Mulawarman tidak cukup banyak memiliki koleksi. Selain itu, kondisi museum juga kurang begitu terawat karena masih debu dan bau yang kurang sedap kerap membuat aku bersin dan mengganggu pernapasan. Yang paling membuat tidak nyaman, suasana panas karena tidak semua ruangan memiliki kipas angin atau AC membuat Museum Mulawarman menjadi tidak terlalu nyaman untuk "dinikmati", apalagi saat jumlah pengunjung cukup banyak. Alhasil, keringat mengucur begitu deras meskipun ruangan yang ada untuk di kunjungi tidak terlalu banyak.

Hmmm.... tak terasa sudah hampir satu jam aku, Madhes dan Deni berkeliling Museum Mulawarman, akhirnya, kami memutuskan untuk kembali ke Balikpapan setelah beberapa hari menikmati kehidupan yang cukup tenang dan jauh dari kebisingan kota. Tenggarong, mungkin memang aku belum bisa menjelajahimu secara total, tapi bagiku kau kota yang cukup menarik untuk kembali ku singgahi lagi...: D

Terimakasih untuk Ibunya Madhes yang begitu ramah dan baik dengan masakan-masakannya yang lezat dan memanjakan lidah selama kami menghabiskan beberapa hari di Tenggarong. Terimakasih juga buat Ayahnya Madhes yang  terkadang usil tapi begitu perhatian dan tak segan-segan memberikan nasihat demi kebaikan kami dan usaha kami bersama di Balikpapan. Gona Miss u, your beautiful home and mahakam saat Sunset ....:D

Sabtu, 06 November 2010

Trip to Tenggarong (Bagian 1)

hmmm.... 
Cukup susah membiasakan menulis, tapi aku berusaha memaksakannya, jika tidak, kenangan akan perjalananku ini hanya akan menjadi kenangan biasa dan akan menjadi basi dalam ingatanku. Kali ini aku mencoba menuliskan pengalaman dan memvisualisasikan apa yang aku lihat, aku rekam dalam otak dan kubidik di balik viewvender kameraku selama tiga hari dua malam di Tenggarong. 
  
Titik awal perjalanan ini dimulai saat aku, Deni dan Madhes (dua orang kawanku), berencana untuk sedikit refreshing dan mencari suasana baru setelah beberapa waktu berkutat dengan kegiatan motret manten dan rutinitas atas konsekuensi kami mencoba berwirausaha di dunia fotografi dengan mendirikan sebuah studio foto. 

Singkat cerita, kami berangkat menuju Tenggarong, Jumat (29/10), dari Balikpapan menuju Tenggarong, sekitar pukul 16.00 WITA, dan diperkirakan sampai ke Tenggarong pukul 21.00 atau 22.00 WITA karena kami berkendara dengan santai sambil menikmati pemandangan selama perjalanan.  Tak lupa, dua buah kamera lengkap kubawa bersama beberapa potong baju, dan sedikit celana dalam ekstra, karena kami berencana untuk mandi (berenang) dan mancing di bekas galian tambang batubara saat kami di Tenggarong nanti.

Perjalanan yang sangat mengasyikkan, kami bercerita ngalor-ngidul, ngetan-ngulon tak tentu arah, yang penting seru dan kami pun sesekali ngakak karena membahas sesuatu yang mungkin nda penting, seperti membahas rencana-rencana konyol, sampai ngomentarin soal cewek yang kami jumpai di perjalanan. Tak lama kemudian, madhes pun nyletuk "Ayo, dokumentasikan donk perjalanan kita", tanpa pikir panjang, langsung ku ambil kamera Canon Eos 30D ku yang sengaja kuletakkan di samping tempat dudukku dan aku pun mulai mengambill beberapa gambar, dan hasilnya :

foto-foto : Titis Widhi Astu/iCandid 
 

  

Tak terasa, sekitar 45 menit kami melakukan perjalanan dari Balikpapan, kami mulai memasuki kawasan Hutan Soeharto yang memang masih terlihat cukup lebat dan rindang pohon-pohonnya. Setelah Memasuki Hutan Soeharto, kemudian kami memutuskan untuk berhenti di sebuah rumah makan yang menjual makanan khas dari daerah Jawa Barat (Tahu Sumedang), sekaligus sholat Ashar dan Magrib. 

Papan Masuk Hutan Soeharto
Tahu Sumedang
Usai menunaikan ibadah sholat dan sejenak beristirahat di rumah makan tahu sumedang, serta memesan satu kotak tahu sumedang sebagai oleh-oleh bagi kedua orang tua Madhes yang memang tengah menunggu kedatangan kami di kediaman mereka di Tenggarong, kami pun melanjutkan perjalanan. Dalam benakku, aku pu berpikir "Sudah jauh-jauh sampai kalimantan, kok yo ketemune tahu sumedang, ramai lagi yang beli. Buka warung makan gudeg mungkin menjanjikan kali ya?"... hehehehehe....              

Terkunci dalam mobil 
Saat kami hendak melanjutkan perjalanan, kami menyaksikan kejadian yang cukup memprihatinkan, bagaimana tidak, akibat kecerobohan orang tuanya, seorang anak yang mungkin baru berumur dua tahun terkunci di dalam mobil yang menyala. Sang anak pun hanya bisa menangis, sementara orang tua dan keluarganya hanya bisa mengelilingi mobil itu dan mencoba menenangkan si anak yang terus menangis hingga terisak.

Ingin rasanya kami membantu, tapi kami harus segera melanjutkan perjalanan karena hari telah beranjak gelap.Sesaat kami meninggalkan warung makan tahu sumedang itu, kami pun membahas kejadian itu "Kenapa tidak dipecahkan saja kacanya, kasian anaknya kan", ujarku, dan ternyata ide gilaku ini diamini Madhes dan Deny yang juga nyeletuk "Pecahin aja kacanya, lebih penting anak daripada kaca mobil, bahaya juga kan di dalam, kan carbondiooksidanya kan berbahaya," cerocos si madhes anjang sambil nyetir.

proses pengisian batu bara ke kapal tongkang
Singkat cerita, kami pun akhirnya melewati Hutan Soeharto dan tiba di perbatasan antara Samarinda dan tenggarong, dan untuk pertama kalinya aku melihat bagaimana proses pengangkutan baru bara ke kapal tongkang yang sangat besar. "Ni lho tis, lewat jalur di atas ini batu bara di naiikkan ke tongkang," jelas madhes. Karena penasaran, aku pun meminta Madhes menepikan mobil dan mengambil beberapa gambar. Ingin sebenarnya aku turun untuk bisa mengambil gambar secara leluasa, tapi, karena kawasan itu diwajibkan memakai pakaian dan peralatan savety yang lengkap, mulai dari baju hingga helm,  jadi kuurungkan niatku turun dari mobil dan memotret dari dalam mobil saja.

Setelah ku kira cukup memotret, kami kemudian melanjutkan perjalanan menuju rumah Madhes di daerah Loa Raya. Baru beberapa saat melanjutkan perjalanan usai memotret proses pengisian batubara ke kapal tongkang, kami pun berhenti di sebuah pom bensin karena ingin mengisi bensin sekaligus pipis (buang air kecil), tepi ternyata pom bensin sudah tutup. Kami tak menyerah, kami pun masuk ke pom bensin tersebut usai memarkirkan mobil di tepi jalan, karena memang sudah kebelet, dan akhirnya kami bisa bernafas lega kembali setelah menyalurkan hasrat yang terpendam beberapa saat itu.

Usai "setor", kami berhenti lagi untuk membeli makan, dan asyiknya, kami berhenti di bawah jembatan Tenggarong yang modelnya mirip jembatan San Fransisco di Amerika sana. "Ini lho tis, jembatan yang ku foto kemaren, sayang langitnya sudah terlalu gelap," ujar deny. Memang deny pernah memotret jembatan itu dan dipamerkannya padaku, hasilnya bagus, langit masih biru dan lampu-lampu di jembatan serta lampu-lampu mobil yang lewat membuat siapa pun yang melihat menyangka bahwa itu jembatan San Fransisco di negeri Paman Sam. Ingin sebenarnya aku mengambil gambarnya, tapi aku pikir tidak akan maksimal hasilnya, jadi kuurungkan niatku memotret "Jembatan San Fransisco Kutai Karta Negara".

Mendebarkan dan Tak Terlupakan
Usai makan, kami pun melanjutkan perjalanan menuju ke pelabuhan karena kami harus menyeberang menggunakan kapal fery untuk bisa sampai ke Loa Raya, tempat tinggal orang tua Madhes. Sempat aku berpikir bahwa yang namanya kapal fery pasti besar dan mungkin memerlukan waktu jam-jaman untuk bisa sampai ke Loa Raya. Tapi, betapa terkejutnya aku ketika tiba di dermaga penyeberangan yang bentuknya cukup sederhana, tak sepeti yang ku bayangkan.

Foto dari dalam mobil sebelum menyeberang
Kapal Fery untuk menyeberang

Keterkejutanku tidak berhenti sampai di situ saja, aku tambah terkejut lagi setelah ada sebuah kapal dengan semacam bak terbuka yang kira-kira berukuran empat meter dengan panjang sekitar 10 - 12  meter tiba-tiba merapat ke dermaga tempat kami menunggu kapal datang.
"Kita nyebrang pakai ini tis," ujar Madhes membuat aku semakin tertegun.
"Yakin Des kita nyeberang pakai ini?" ujarku kebingungan.
Deny pun menyahut "Ya iya lah, mang mo nyeberang pakai apa lagi?"

Tak berapa lama setelah kapal fery dari kayu itu bersandar, Madhes pun menstater mobilnya dan mulai mundur naik ke atas kapal fery itu, sedangkan deny masih menunggu di dermaga dan aku pun tak mau melewatkan momen langka ini, (paling tidak baru kali ini aku melihatnya), dan aku mulai memotret.

Rasa gerogi untuk menyeberang datang lagi setelah beberapa motor diminta untuk turun dari kapal karena dikhawatirkan beban terlalu berat dan bisa membahayakan penyeberangan. Agar tidak gerogi, aku pun menyibukkan diri dengan mengambil beberapa frame foto. Saat sedang asik mengambil foto, Madhes pun memanggil, "Ayo sudah naik, kita mo nyeberang ini," ujarnya menunggu di depan mobilnya yang sudah berada di atas kapal ditemani Deny. "Iya...iya... ," Jawabku singkat dan langsung bergegas menaiki kapal fery dari kayu itu.

Madhes and Deny
Madhes and Me









Me and Deny  
Dengan penerangan seadanya berupa tiga buah lampu yang terpasang di tiang kapal, perlahan kami menyeberangi mahakam yang malam itu alhamdulillah arusnya cukup bersahabat. Meskipun begitu, rasa khawatir tetap saja ada. Agar rasa khawatir ini tidak berkepanjangan, aku pun mulai memotret lagi. (Foto-foto narsis), dan kami pun bergantian memotret dan nampang.

Tak berapa lama menyeberang, sekitar 10 menit, ternyata kami sudah sampai ke dermaga di seberang Sungai Mahakam, yang artinya kami sudah selesai menyeberangi Sungai Mahakam yang terkenal di Kalimantan itu. Lega dan senang rasanya, paling tidak sudah aman dari ancaman tenggelam dan berenang bersama buaya penghuni mahakam.. xixixixixixxi

Deny Nampang
Disambut Ramah
Setelah kapal fery merapat sempurna dan papan untuk melintas kendaraan di turunkan, aku langsung turun dan Deny pun memintaku memotret dia di depan kapal. "Potoin aku sudah," ujarnya singkat. Aku pun langsung turun dari kapal dan memotretnya. Tak ingin momen ini terlewatkan, aku pun gantian minta di foto di depan kapal fery yang sempat membuat jantungku empot-empotan karena takut tercebur ke Sungai mahakam dan dimakan crocodile..:P hehehehehe

Melihat pemasangan papan
Usai puas poto-poto, kami melanjutkan perjalanan menuju rumah Madhes yang ternyata hanya sekitar 3 menit pelabuhan kapal fery yang kami tumpangi. Begitu sampai di rumah Madhes, perasaan senang menyeruak, bagaimana tidak, ternyata rumah madhes hanya berjarak sekitar lima meteran saja dari Sungai Mahakam. Kubayangkan enaknya memancig di sungai mahakam seperti apa yang diceritakan Madhes dan Deny saat kami masih berada di Balikpapan.

Saat mobil kami berhenti di depan rumah, Kulihat jam di tanganku ternyata sudah pukul 21.40 WITA. Aku langsung turun dan mulai mengambil barang-barang lalu menuju kediaman orang tua Madhes yang begitu sederhana namun sangat asri dengan adanya sedikit tanah halaman depan yang digunakan untuk tempat meletakkan pot-pot bungga. Bangunan yang terbuat dari kayu-kayu khas bangunan Kalimantan membuatku bersemangat untuk segera masuk dan melihat bagaimana dalam rumahnya.

Tak begitu lama aku selesai menurunkan barang, pintu rumah pun dibuka oleh lelaki paruh baya yang rambutnya tengah memutih. "Ayo masuk, masuk...... selamat datang di tenggarong Tis," ujar lelaki itu yang tak lain adalah Ayah Madhes. Memang baru sekali aku bertemu dengannya, tapi rasanya sudah begitu akrab dengan beliau. Tanpa sungkan-sungkan, aku langsung masuk dan mengikuti Ayah Madhes. "Ini Kamar untuk beristirahat, taruh saja barang-barangnya dulu," ujarnya.

Tak berapa lama kami masuk dan menaruh barang di kamar, sesosok wanita paruh baya yang rambutnya agak memerah dan kecoklatan akibat cat rambut yang sudah luntur menyapa kami. "Capek kah?" tanyanya seraya tersenyum dan menghampiri kami dengan tertatih karena kakinya bengkak akibat keseleo berapa waktu sebelum kami datang, ya itu ibunya Madhes.

Buru-buru aku dan Deny segera menghampiri dan menjabat tangannya yang sudah mulai keriput akibat bertambahnya usia. "Gimana tadi perjalanannya?" tanyanya lagi dengan suara yang terlhat begitu ceria. Mungkin karena melihat kedatangan Madhes, anaknya yang belum tentu bisa ia temui sebulan sekali karena harus menetap di Balikpapan untuk bekerja.

Tak terasa, waktu sudah beranjak malam dan tubuh lelah kami pun seakan sudah tidak bisa diajak untuk kompromi. Ibu dan Ayah Madhes pun kemudian beranjak dari kursi untuk menuju ke kamar dan beristirahat, setelah cukup lama bercengkrama dengan kami. "Ibu istirahat dulu ya, jangan tidur malam-malam," ujarnya sembari berjalan tertaih menuju kamarnya yang berada di sebelah kamar kami.

Tak lama pun kami menuju kamar untuk tidur setelah kami selesai memindahkan hasil jepretan selama perjalanan ke laptop. hmm.... rasanya tak sabar untuk segera pagi hari dan melaksanakan rencana kami memancing, berenang dan motret-motret....

Bersambung.....

Selasa, 02 November 2010

Tetes (Berharga) Air

Baru kali ini aku merasakan dengan jelas betapa penting dan berharganya tetes demi tetes air. seolah mendapatkan tamparan, aku terhenyak dan mulai berpikir dan akhirnya menyesali tindakanku selama ini dengan air. Mungkin ini sepele, tapi ini menjadi pelajaran berarti bagiku. 

Tamparan terhadap ego dan keangkuhan serta rasa tidak beryukurku terhadap sang khalik dengan ciptaannya yang bernama air ini bermula saat air yang ada di kosku (Balikpapan, East Borneo) tidak mengalir selama beberapa jam akibat adanya perbaikan pipa air yang dilakukan oleh PDAM. Sebuah pristiwa yang sangat jarang, bahkan tidak pernah terjadi di tempat tinggalku (Jogja, Central Java).

Sejak malam hari, Senin (1/11), air di kos memang sudah tidak lagi mengalir seperti biasanya, aliran airnya sangat kecil dan aku pikir itu bisa karena mungkin ada sedikit masalah dengan tekanan air dari bawah, karena kebetulan kamar mandi dan kamar kos ada diatas. Tapi, saat bangun pagi harinya, Selasa (2/11), ternyata air masih belum mengalir dan air yang ada di bak mandi sudah nyaris habis.

Sampai Selasa Pagi itu, aku masih belum merasakan betapa berharganya air, karena masih ada dua tandon besar di samping kamar mandi yang masih menampung ratusan liter air. Tapi, akhirnya menjelang sore hari, karena banyak anak-anak kos yang menggunakan air, akhirnya air di dalam tandon berkapasitas 1.200 liter itu pun seakan tak berdaya mengeluarkan persediaan airnya, dan aku pun mulai tersadar... “Ya Alah, ternyata selama ini aku terlalu boros dan menyia-nyiakan air yang menjadi karuniamu” (pikirku).

Singkat cerita, aku pun mulai memindahkan air dari tandon besar ke ember hijauku yang aku pikir bisa terisi penuh dan kemudian kupindahnkan ke ember hitam yang lebih besar yang sudah ku persiapkan. Tapi, setelah setengah jam lebih, aku menunggu, ternyata ember hijauku tak sepenuhnya terisi dan air dari tandon pun sudah tidak lagi mengalir, hanya tetes-tetes kecil yang berjatuhan dan mengeluarkan bunyi khasnya.

Hmmm..... mau tak mau akhirnya aku pun mandi dengan air yang tak sampai satu ember penuh itu, dan aku pun muai berpikir bagaimana agar aku bisa mandi hingga selesai dan tidak kehabisan air, nda lucu juga kan kalau pas ditengah-tengah mandi dan badan masih bersabun, air di ember hijauku habis. Padahal, bisanya aku mandi bisa menghabiskan dua sampai tiga ember hijau (kalau dihitung-hitung).

Akhirnya aku pun menemukan cara dan mulai mandi, dan alhamdulillah air di ember hijau itu pun cukup untuk aku mandi. Hmmm.... tapi sumpah, pusing juga aku mengatur cara bagaimana agar air dalam ember hijauku itu bisa bertahan hingga gayung terakhir untuk membasuh tubuhku.

Akhirnya aku pun mulau memasukkan gayung ke dalam ember hijauku dan mulau mengguyurkan airnya mulai dari kepalaku secara perlahan. Satu gayung, dan setengah gayung ku habiskan untuk menyiram tubuhku, dan ku longok ember hijauku yang ternyata masih lumayan banyak airnya, lalu kulanjutkan dengan mengambil sabun dan mulai membuat busa yang banyak untuk bisa menggosok seluruh badanku. Setelah kubasuh seluruh bdanku dengan sabun, kembali aku memasukkan gayung ke dalam ember hijaukau dan mengambil air lagi untuk membasuh tubuhku, satu gayung, dua gayung dan saat aku mau mengambil gayung ketiga, aku mulai berpikir, “cukup ndak ya buat gosok gigi?” hmm.... untunglah dua gayung itu cukup untuk membersihkan sabun di tubuhku, sehingga aku tidak perlu menggunakan gayung ketiga.

Rasa syukur yang aku belum perah rasakan saat menggunakan air begitu indah kurasa, karena setelah aku selesai mandi dan badan terasa segar, ada satu orang teman kosku yang tidak begitu tidak beruntung karena ia tidak kebagian air dan harus nyengir-nyengir menahan sakit akibat hasrat buang air yang tak tersalurkan., hmfff.....

Kini ku mengerti betapa berharganya air bagi kehidupan, betapa air walaupun itu air mentah, tetap aja sangat berguna bagi manusia. Tak kan ku sia-siakan kau lagi, walaupun itu setetes... 

Minggu, 31 Oktober 2010

New guy, in a new town (Awal Kisah Merantau ke Balikpapan, East Borneo)

Awalnya aku tak pernah berpikir untuk beranjak menyeberang ke pulau kalimantan, atau bahkan beranjak beberapa langkah saja dari kedua orang tuaku di Jogja. Bukan karena tak ada keberanian dalam diriku, tetapi karena adannya semacam "doktrinasi" dari emakku tentang pentingnya anak laki-laki pertama untuk selalu dekat dengan keluarga, karena anak laki-laki pertama merupakan calon pemimpin keluarga pengganti ayahandanya.

Keberanian itu mulai muncul ketia realita dan logika memaksaku untuk "menentang" dan meyampaikan argumenku mengenai keharusanku meninggalkan mereka untuk merantau. Memang bukan suatu hal yang mudah, tetapi akhirnya emak mengizinkanku merantau, dan izinnya pun di amini bapak. Lega juga rasanya, tapi ada rasa berat juga meninggalkan mereka. 

Singkat cerita, kini aku sedang mulai membuka lembaran baru dalam hidupku yang entah akan lebih baik dari kehidupanku yang selalu "nyaman" karena dekat dengan kedua orang tua dan sempat memiliki penghasilan tetap, atau justru malah lebih buruk, tapi yang pasti, hanya keyakinan dalam diri dan modal restu serta doa dari kedua orang tuaku yang aku yakin bisa menjadi bekal yang baik untuk bisa memulai kehidupan baru di tanah rantau. Tak lupa, dua orang temanku yang saat ini bersamaku mencoba membuka usaha bersama, sebuah usaha yang memang sempat menjadi angan-anganku, usaha studio foto. 
 
Bismillah, kata itu yang aku ucapkan ketika aku melangkahkan kakiku menjauh dari rumah, menjauh dari kedua orang tuaku yang saat itu terlihat tegar melapaskan kepergianku merantau. Bermodal ketegaran dan keikhlasan mereka (emak dan bapak), aku pun mantab untuk meninggalkan semua kenangan dan kenyamanan-kenyamanan pekerjaanku sebagai seorang jurnalis yang telah ku geluti selama 2 tahun 11 bulan.  
 
hmmmm.... bismillah ya allah, berikan hambamu kemudahan dan kelancaran di tempat yang baru. Lindungilah dan saangilah kedua orang tuaku nan jauh di seberang sana. Hanya kau Dzat yang maha dari segala maha, maka kabulkanlah permohonanku.... 


Jumat, 29 Oktober 2010

Mbah Maridjan.. oh.. Mbah Maridjan

Kepergian Mbah Maridjan seharusnya mampu membuka pemikiran "orang modern" yang saat ini hanya berpikir tentang jabatan, harta, tahta, kekuasaaan, yang semuanya itu hanya kesenangan semu di dunia fana, dan kebanyakan hanya mendatangkan kesengsaraan, bagi dirinya sendiri, orang lain, bahkan bangsa dan negaranya.

Mungkin TUHAN berpikir untuk mengambil Mbah Maridjan lebih cepat agar dia bisa "menyelamatkan" Mbah Marridjan dari kejamnya perubahan zaman, karena memang hanya "masyarakat modern" yang layak hidup di zaman sekarang ini, "zaman yang sudah RUSAK". Zaman yang sudah tidak lagi mampu meberikan sebuah rasa aman, rasa nyaman dan zaman yang hanya menuntut mereka dan kita untuk selalu "sok Berpikir logis" dan mengatakan "Kuno Loe!" kepada mereka yang masih berpikir "konvesnsional dan berpegang pada tradisi serta menjaga amanah".

"masyarakat Modern" yang selalu menepuk dada mereka dan selalu menegadah ke langit dengan kecongkakan dan kesombongan mereka, jelas tidak akan pernah mengerti bagaimana mengabdi, menjaga amanah, apalagi berpikir dengan nilai-nilai tradisi adiluhung bangsa atau adatnya, selayaknya "orang Kuno" yang akhirnya meninggal dengan posisi sujud yang merupakan posisi hormat, pasrah, mengabdi kepada "SANG PENGUASA" (Tuhan atau raja, 'tanpa maksud menyamakan bahwa raja sama dengan tuhan'), Karena apa?, ya karena sebenarnya "manusia modern" yang mengatakan bahwa mereka adalah orang yang berlogika dan tidak "percaya yang gitu-gituan", terlalu sombong dengan segala logika yang mereka bangun sendiri, yang sebenarnya sebagai sebuah pembenaran atas berbagai tindakan bodoh, tak terpuji dan arogan, yang mereka lakukan.

ya ya ya, "masyarakat modern" mungkin samapi kapan pun tidak akan mau menerima berbagai hal yang dianut oleh "masyarakat kuno", walaupun sebenarnya apa-apa yang "kuno" itulah yang sebanarnya memiliki nilai yang hakiki dan mungkin bisa "menyelamatkan" manusia dari "kepunahan" yang mungkin sebentar lagi akan terjadi, karena apa?, ya karena tidak sesuai dengan logika mereka.

Mbah Maridjan.. oh Mbah Maridjan... sebanarnya banyak hal yang telah kau ajarkan kepada mayarakat Indonesia dan masyarakat seluruh dunia dengan berbagai tingkah, polah, kata-kata, sifat "keras Kepalamu" dalam menjaga amanah sebagai sang penjaga gunung, dan berbagai hal "Kuno" yang kau lakukan. semoga segala amal ibadah dan "kekunoanmu" bisa menjadi nilai lebih dimata Tuhan. Doakan kami yang kau tinggalkan ini utuk bisa benar-benar "berlogika" dengan baik... slamat jalan mbah maridjan...