Sabtu, 06 November 2010

Trip to Tenggarong (Bagian 1)

hmmm.... 
Cukup susah membiasakan menulis, tapi aku berusaha memaksakannya, jika tidak, kenangan akan perjalananku ini hanya akan menjadi kenangan biasa dan akan menjadi basi dalam ingatanku. Kali ini aku mencoba menuliskan pengalaman dan memvisualisasikan apa yang aku lihat, aku rekam dalam otak dan kubidik di balik viewvender kameraku selama tiga hari dua malam di Tenggarong. 
  
Titik awal perjalanan ini dimulai saat aku, Deni dan Madhes (dua orang kawanku), berencana untuk sedikit refreshing dan mencari suasana baru setelah beberapa waktu berkutat dengan kegiatan motret manten dan rutinitas atas konsekuensi kami mencoba berwirausaha di dunia fotografi dengan mendirikan sebuah studio foto. 

Singkat cerita, kami berangkat menuju Tenggarong, Jumat (29/10), dari Balikpapan menuju Tenggarong, sekitar pukul 16.00 WITA, dan diperkirakan sampai ke Tenggarong pukul 21.00 atau 22.00 WITA karena kami berkendara dengan santai sambil menikmati pemandangan selama perjalanan.  Tak lupa, dua buah kamera lengkap kubawa bersama beberapa potong baju, dan sedikit celana dalam ekstra, karena kami berencana untuk mandi (berenang) dan mancing di bekas galian tambang batubara saat kami di Tenggarong nanti.

Perjalanan yang sangat mengasyikkan, kami bercerita ngalor-ngidul, ngetan-ngulon tak tentu arah, yang penting seru dan kami pun sesekali ngakak karena membahas sesuatu yang mungkin nda penting, seperti membahas rencana-rencana konyol, sampai ngomentarin soal cewek yang kami jumpai di perjalanan. Tak lama kemudian, madhes pun nyletuk "Ayo, dokumentasikan donk perjalanan kita", tanpa pikir panjang, langsung ku ambil kamera Canon Eos 30D ku yang sengaja kuletakkan di samping tempat dudukku dan aku pun mulai mengambill beberapa gambar, dan hasilnya :

foto-foto : Titis Widhi Astu/iCandid 
 

  

Tak terasa, sekitar 45 menit kami melakukan perjalanan dari Balikpapan, kami mulai memasuki kawasan Hutan Soeharto yang memang masih terlihat cukup lebat dan rindang pohon-pohonnya. Setelah Memasuki Hutan Soeharto, kemudian kami memutuskan untuk berhenti di sebuah rumah makan yang menjual makanan khas dari daerah Jawa Barat (Tahu Sumedang), sekaligus sholat Ashar dan Magrib. 

Papan Masuk Hutan Soeharto
Tahu Sumedang
Usai menunaikan ibadah sholat dan sejenak beristirahat di rumah makan tahu sumedang, serta memesan satu kotak tahu sumedang sebagai oleh-oleh bagi kedua orang tua Madhes yang memang tengah menunggu kedatangan kami di kediaman mereka di Tenggarong, kami pun melanjutkan perjalanan. Dalam benakku, aku pu berpikir "Sudah jauh-jauh sampai kalimantan, kok yo ketemune tahu sumedang, ramai lagi yang beli. Buka warung makan gudeg mungkin menjanjikan kali ya?"... hehehehehe....              

Terkunci dalam mobil 
Saat kami hendak melanjutkan perjalanan, kami menyaksikan kejadian yang cukup memprihatinkan, bagaimana tidak, akibat kecerobohan orang tuanya, seorang anak yang mungkin baru berumur dua tahun terkunci di dalam mobil yang menyala. Sang anak pun hanya bisa menangis, sementara orang tua dan keluarganya hanya bisa mengelilingi mobil itu dan mencoba menenangkan si anak yang terus menangis hingga terisak.

Ingin rasanya kami membantu, tapi kami harus segera melanjutkan perjalanan karena hari telah beranjak gelap.Sesaat kami meninggalkan warung makan tahu sumedang itu, kami pun membahas kejadian itu "Kenapa tidak dipecahkan saja kacanya, kasian anaknya kan", ujarku, dan ternyata ide gilaku ini diamini Madhes dan Deny yang juga nyeletuk "Pecahin aja kacanya, lebih penting anak daripada kaca mobil, bahaya juga kan di dalam, kan carbondiooksidanya kan berbahaya," cerocos si madhes anjang sambil nyetir.

proses pengisian batu bara ke kapal tongkang
Singkat cerita, kami pun akhirnya melewati Hutan Soeharto dan tiba di perbatasan antara Samarinda dan tenggarong, dan untuk pertama kalinya aku melihat bagaimana proses pengangkutan baru bara ke kapal tongkang yang sangat besar. "Ni lho tis, lewat jalur di atas ini batu bara di naiikkan ke tongkang," jelas madhes. Karena penasaran, aku pun meminta Madhes menepikan mobil dan mengambil beberapa gambar. Ingin sebenarnya aku turun untuk bisa mengambil gambar secara leluasa, tapi, karena kawasan itu diwajibkan memakai pakaian dan peralatan savety yang lengkap, mulai dari baju hingga helm,  jadi kuurungkan niatku turun dari mobil dan memotret dari dalam mobil saja.

Setelah ku kira cukup memotret, kami kemudian melanjutkan perjalanan menuju rumah Madhes di daerah Loa Raya. Baru beberapa saat melanjutkan perjalanan usai memotret proses pengisian batubara ke kapal tongkang, kami pun berhenti di sebuah pom bensin karena ingin mengisi bensin sekaligus pipis (buang air kecil), tepi ternyata pom bensin sudah tutup. Kami tak menyerah, kami pun masuk ke pom bensin tersebut usai memarkirkan mobil di tepi jalan, karena memang sudah kebelet, dan akhirnya kami bisa bernafas lega kembali setelah menyalurkan hasrat yang terpendam beberapa saat itu.

Usai "setor", kami berhenti lagi untuk membeli makan, dan asyiknya, kami berhenti di bawah jembatan Tenggarong yang modelnya mirip jembatan San Fransisco di Amerika sana. "Ini lho tis, jembatan yang ku foto kemaren, sayang langitnya sudah terlalu gelap," ujar deny. Memang deny pernah memotret jembatan itu dan dipamerkannya padaku, hasilnya bagus, langit masih biru dan lampu-lampu di jembatan serta lampu-lampu mobil yang lewat membuat siapa pun yang melihat menyangka bahwa itu jembatan San Fransisco di negeri Paman Sam. Ingin sebenarnya aku mengambil gambarnya, tapi aku pikir tidak akan maksimal hasilnya, jadi kuurungkan niatku memotret "Jembatan San Fransisco Kutai Karta Negara".

Mendebarkan dan Tak Terlupakan
Usai makan, kami pun melanjutkan perjalanan menuju ke pelabuhan karena kami harus menyeberang menggunakan kapal fery untuk bisa sampai ke Loa Raya, tempat tinggal orang tua Madhes. Sempat aku berpikir bahwa yang namanya kapal fery pasti besar dan mungkin memerlukan waktu jam-jaman untuk bisa sampai ke Loa Raya. Tapi, betapa terkejutnya aku ketika tiba di dermaga penyeberangan yang bentuknya cukup sederhana, tak sepeti yang ku bayangkan.

Foto dari dalam mobil sebelum menyeberang
Kapal Fery untuk menyeberang

Keterkejutanku tidak berhenti sampai di situ saja, aku tambah terkejut lagi setelah ada sebuah kapal dengan semacam bak terbuka yang kira-kira berukuran empat meter dengan panjang sekitar 10 - 12  meter tiba-tiba merapat ke dermaga tempat kami menunggu kapal datang.
"Kita nyebrang pakai ini tis," ujar Madhes membuat aku semakin tertegun.
"Yakin Des kita nyeberang pakai ini?" ujarku kebingungan.
Deny pun menyahut "Ya iya lah, mang mo nyeberang pakai apa lagi?"

Tak berapa lama setelah kapal fery dari kayu itu bersandar, Madhes pun menstater mobilnya dan mulai mundur naik ke atas kapal fery itu, sedangkan deny masih menunggu di dermaga dan aku pun tak mau melewatkan momen langka ini, (paling tidak baru kali ini aku melihatnya), dan aku mulai memotret.

Rasa gerogi untuk menyeberang datang lagi setelah beberapa motor diminta untuk turun dari kapal karena dikhawatirkan beban terlalu berat dan bisa membahayakan penyeberangan. Agar tidak gerogi, aku pun menyibukkan diri dengan mengambil beberapa frame foto. Saat sedang asik mengambil foto, Madhes pun memanggil, "Ayo sudah naik, kita mo nyeberang ini," ujarnya menunggu di depan mobilnya yang sudah berada di atas kapal ditemani Deny. "Iya...iya... ," Jawabku singkat dan langsung bergegas menaiki kapal fery dari kayu itu.

Madhes and Deny
Madhes and Me









Me and Deny  
Dengan penerangan seadanya berupa tiga buah lampu yang terpasang di tiang kapal, perlahan kami menyeberangi mahakam yang malam itu alhamdulillah arusnya cukup bersahabat. Meskipun begitu, rasa khawatir tetap saja ada. Agar rasa khawatir ini tidak berkepanjangan, aku pun mulai memotret lagi. (Foto-foto narsis), dan kami pun bergantian memotret dan nampang.

Tak berapa lama menyeberang, sekitar 10 menit, ternyata kami sudah sampai ke dermaga di seberang Sungai Mahakam, yang artinya kami sudah selesai menyeberangi Sungai Mahakam yang terkenal di Kalimantan itu. Lega dan senang rasanya, paling tidak sudah aman dari ancaman tenggelam dan berenang bersama buaya penghuni mahakam.. xixixixixixxi

Deny Nampang
Disambut Ramah
Setelah kapal fery merapat sempurna dan papan untuk melintas kendaraan di turunkan, aku langsung turun dan Deny pun memintaku memotret dia di depan kapal. "Potoin aku sudah," ujarnya singkat. Aku pun langsung turun dari kapal dan memotretnya. Tak ingin momen ini terlewatkan, aku pun gantian minta di foto di depan kapal fery yang sempat membuat jantungku empot-empotan karena takut tercebur ke Sungai mahakam dan dimakan crocodile..:P hehehehehe

Melihat pemasangan papan
Usai puas poto-poto, kami melanjutkan perjalanan menuju rumah Madhes yang ternyata hanya sekitar 3 menit pelabuhan kapal fery yang kami tumpangi. Begitu sampai di rumah Madhes, perasaan senang menyeruak, bagaimana tidak, ternyata rumah madhes hanya berjarak sekitar lima meteran saja dari Sungai Mahakam. Kubayangkan enaknya memancig di sungai mahakam seperti apa yang diceritakan Madhes dan Deny saat kami masih berada di Balikpapan.

Saat mobil kami berhenti di depan rumah, Kulihat jam di tanganku ternyata sudah pukul 21.40 WITA. Aku langsung turun dan mulai mengambil barang-barang lalu menuju kediaman orang tua Madhes yang begitu sederhana namun sangat asri dengan adanya sedikit tanah halaman depan yang digunakan untuk tempat meletakkan pot-pot bungga. Bangunan yang terbuat dari kayu-kayu khas bangunan Kalimantan membuatku bersemangat untuk segera masuk dan melihat bagaimana dalam rumahnya.

Tak begitu lama aku selesai menurunkan barang, pintu rumah pun dibuka oleh lelaki paruh baya yang rambutnya tengah memutih. "Ayo masuk, masuk...... selamat datang di tenggarong Tis," ujar lelaki itu yang tak lain adalah Ayah Madhes. Memang baru sekali aku bertemu dengannya, tapi rasanya sudah begitu akrab dengan beliau. Tanpa sungkan-sungkan, aku langsung masuk dan mengikuti Ayah Madhes. "Ini Kamar untuk beristirahat, taruh saja barang-barangnya dulu," ujarnya.

Tak berapa lama kami masuk dan menaruh barang di kamar, sesosok wanita paruh baya yang rambutnya agak memerah dan kecoklatan akibat cat rambut yang sudah luntur menyapa kami. "Capek kah?" tanyanya seraya tersenyum dan menghampiri kami dengan tertatih karena kakinya bengkak akibat keseleo berapa waktu sebelum kami datang, ya itu ibunya Madhes.

Buru-buru aku dan Deny segera menghampiri dan menjabat tangannya yang sudah mulai keriput akibat bertambahnya usia. "Gimana tadi perjalanannya?" tanyanya lagi dengan suara yang terlhat begitu ceria. Mungkin karena melihat kedatangan Madhes, anaknya yang belum tentu bisa ia temui sebulan sekali karena harus menetap di Balikpapan untuk bekerja.

Tak terasa, waktu sudah beranjak malam dan tubuh lelah kami pun seakan sudah tidak bisa diajak untuk kompromi. Ibu dan Ayah Madhes pun kemudian beranjak dari kursi untuk menuju ke kamar dan beristirahat, setelah cukup lama bercengkrama dengan kami. "Ibu istirahat dulu ya, jangan tidur malam-malam," ujarnya sembari berjalan tertaih menuju kamarnya yang berada di sebelah kamar kami.

Tak lama pun kami menuju kamar untuk tidur setelah kami selesai memindahkan hasil jepretan selama perjalanan ke laptop. hmm.... rasanya tak sabar untuk segera pagi hari dan melaksanakan rencana kami memancing, berenang dan motret-motret....

Bersambung.....

Selasa, 02 November 2010

Tetes (Berharga) Air

Baru kali ini aku merasakan dengan jelas betapa penting dan berharganya tetes demi tetes air. seolah mendapatkan tamparan, aku terhenyak dan mulai berpikir dan akhirnya menyesali tindakanku selama ini dengan air. Mungkin ini sepele, tapi ini menjadi pelajaran berarti bagiku. 

Tamparan terhadap ego dan keangkuhan serta rasa tidak beryukurku terhadap sang khalik dengan ciptaannya yang bernama air ini bermula saat air yang ada di kosku (Balikpapan, East Borneo) tidak mengalir selama beberapa jam akibat adanya perbaikan pipa air yang dilakukan oleh PDAM. Sebuah pristiwa yang sangat jarang, bahkan tidak pernah terjadi di tempat tinggalku (Jogja, Central Java).

Sejak malam hari, Senin (1/11), air di kos memang sudah tidak lagi mengalir seperti biasanya, aliran airnya sangat kecil dan aku pikir itu bisa karena mungkin ada sedikit masalah dengan tekanan air dari bawah, karena kebetulan kamar mandi dan kamar kos ada diatas. Tapi, saat bangun pagi harinya, Selasa (2/11), ternyata air masih belum mengalir dan air yang ada di bak mandi sudah nyaris habis.

Sampai Selasa Pagi itu, aku masih belum merasakan betapa berharganya air, karena masih ada dua tandon besar di samping kamar mandi yang masih menampung ratusan liter air. Tapi, akhirnya menjelang sore hari, karena banyak anak-anak kos yang menggunakan air, akhirnya air di dalam tandon berkapasitas 1.200 liter itu pun seakan tak berdaya mengeluarkan persediaan airnya, dan aku pun mulai tersadar... “Ya Alah, ternyata selama ini aku terlalu boros dan menyia-nyiakan air yang menjadi karuniamu” (pikirku).

Singkat cerita, aku pun mulai memindahkan air dari tandon besar ke ember hijauku yang aku pikir bisa terisi penuh dan kemudian kupindahnkan ke ember hitam yang lebih besar yang sudah ku persiapkan. Tapi, setelah setengah jam lebih, aku menunggu, ternyata ember hijauku tak sepenuhnya terisi dan air dari tandon pun sudah tidak lagi mengalir, hanya tetes-tetes kecil yang berjatuhan dan mengeluarkan bunyi khasnya.

Hmmm..... mau tak mau akhirnya aku pun mandi dengan air yang tak sampai satu ember penuh itu, dan aku pun muai berpikir bagaimana agar aku bisa mandi hingga selesai dan tidak kehabisan air, nda lucu juga kan kalau pas ditengah-tengah mandi dan badan masih bersabun, air di ember hijauku habis. Padahal, bisanya aku mandi bisa menghabiskan dua sampai tiga ember hijau (kalau dihitung-hitung).

Akhirnya aku pun menemukan cara dan mulai mandi, dan alhamdulillah air di ember hijau itu pun cukup untuk aku mandi. Hmmm.... tapi sumpah, pusing juga aku mengatur cara bagaimana agar air dalam ember hijauku itu bisa bertahan hingga gayung terakhir untuk membasuh tubuhku.

Akhirnya aku pun mulau memasukkan gayung ke dalam ember hijauku dan mulau mengguyurkan airnya mulai dari kepalaku secara perlahan. Satu gayung, dan setengah gayung ku habiskan untuk menyiram tubuhku, dan ku longok ember hijauku yang ternyata masih lumayan banyak airnya, lalu kulanjutkan dengan mengambil sabun dan mulai membuat busa yang banyak untuk bisa menggosok seluruh badanku. Setelah kubasuh seluruh bdanku dengan sabun, kembali aku memasukkan gayung ke dalam ember hijaukau dan mengambil air lagi untuk membasuh tubuhku, satu gayung, dua gayung dan saat aku mau mengambil gayung ketiga, aku mulai berpikir, “cukup ndak ya buat gosok gigi?” hmm.... untunglah dua gayung itu cukup untuk membersihkan sabun di tubuhku, sehingga aku tidak perlu menggunakan gayung ketiga.

Rasa syukur yang aku belum perah rasakan saat menggunakan air begitu indah kurasa, karena setelah aku selesai mandi dan badan terasa segar, ada satu orang teman kosku yang tidak begitu tidak beruntung karena ia tidak kebagian air dan harus nyengir-nyengir menahan sakit akibat hasrat buang air yang tak tersalurkan., hmfff.....

Kini ku mengerti betapa berharganya air bagi kehidupan, betapa air walaupun itu air mentah, tetap aja sangat berguna bagi manusia. Tak kan ku sia-siakan kau lagi, walaupun itu setetes...